EDELWISH
Sudah lima kali akhir pekan, seiap kali pagi menjelang hujan
mengguyur tanah Bali, seperti sekarang. Sepasang kura-kura lucu yang terkurung
kotak kaca terlihat sedang menikmati makanan paginya. Keyla melirik kearahnya,
lalu kembali lagi menghadap kearah jendela. Kenangan SMAnya terbayang, dan
betapa iya tak menyangka ketika kenangan itu tergambar jelas digaris-garis
hujan, begitu sempurna sosok lelaki tegap berdiri didepan pagar, dan seorang
gadis menghampirinya dengan senyum tipis.
Mungkin esok Keyla akan berangkat ke Bandung, menemui sosok
asli laki-laki itu dan mendenar suaranya yang khas. Mahasiswi kedokteran di
Bali ini tak tahu mengapa iya bisa merasa rindu dengan laki-laki yang seumuran
dengannya, padahal sejak tamat SMA iya tak pernah ingin menemui laki-laki yang
dulu sempat iya cintai itu. Tapi, ah! Empat tahun sudah iya tak bersua dengan
Yudha, dan dalam empat tahun pula no ponselnya tak bisa dihubungi. Entah
bagaimana keadaan Yudha saat ini. Percakapan pada acara perpisahan empat tahun
lalu membuatnya cemas. Sura Yudha seakan tak ingn bertemu dengannya lagi.
“kak Yudha, ini untukmu”
“apa ini?” Tanya Yudha
“bukan apa-apa, hanya buku yang menceritakan hati”
“oh… terimakasih”
“apa ini?” Tanya Yudha
“bukan apa-apa, hanya buku yang menceritakan hati”
“oh… terimakasih”
Sebenarnya Keyla masih ingin bicara lebih lama waktu itu. Masih
ingin mendengar suaranya yang khas. Tapi, Yudha berlau meninggalkannya. Keyla
masih ingat saat-saat terindah yang pernah iya lewati bersama Yudha
disekolahnya dulu. Yudha memberinya obat saat iya merasakan sakit di bagian
lambungnya. Keyla melirik kearah Yudha yang sedang menyodorkan
kepingan-kepingan perhatian, mencoba menutupi kebahagiaanyang iya rasakan saat
Yudha memaksanya untuk memakan obat yang iya berikan.
Mobil keyla merangkak menyusuri aspal yang menggigil, lau
berbelok ketika jari Tasya sahabatnya mengacung kearh kiri, menunjukkan rumah
bercat hijau milik Yudha.
“kak Yudha? Benarkah kau?” laki-laki mengenakan seragam
angkatan yang membukakan pintu itu mendongak memangdang wajah Keyla yang beku.
Keheranan tergambar diwajah Yudha.
“dek Keyla…”
“dek Keyla…”
Angin malam menelusup masuk menubruk pintu ketika ditutup
dari dalam. Laki-laki itu benar-benar Yudha, tapi sungguh beda dengan gambar
digaris-garis hujan yang Keyla tangkap. Ingin rasanya Keyla memeluknya ketika
Yudha melafalkan namanya dengan nada rendah. Tapi, ia mengurungkan niatnya
ketika ia melihat foto mesra Yudha dengan kekasihnya disudut ruangan.
“apa kau masih mencintainya? Apa dari dulu hingga kini tak pernah ada ruang dihatimu untuk ku?” Tanya Keyla mengigil, wajah dan matanya merah merangah. “baik, akan ku buktikan bahwa aku mencintaimu bahkan sampai aku mati” lanjut Keyla seraya menerobos pintu.
“Key…” teriak Yudha, tapi mobil yang Keyla kendarai sudah
lebih dulu merayap meninggalkan daun-daun basah didepan rumah Yudha.
Keika 5 hari
kemudian Yudha mendapat pesan melalui jejaring facebook miliknya.
“pesa dari Keyla” gumamnya heran. Senyumnya tiba-tiba saja
pecah saat iya mengetahui Keyla dirumahnya, iya bergegas tapi, iya sama sekali
tak menemukan Keyla, yang iya temukan hanya sosok waita yang sudah sering iya
lihat.
“Tasya… ada apa? Apa kau yang menulis pesan padaku?
“bukan, aku kesini hanya ingin menyampaikan ini”
“bukan, aku kesini hanya ingin menyampaikan ini”
Kotak puth berbalut pita hitam itu secara perlahan ia buka,
dia melirik ke arah Tasya.
“edelwish?”
“edelwish ini dari Keyla, iya hanya menyuruhku menyampaikan ini untuk mu. Hal terakhir yang iya katakana bahwa iya mencintaimu”
“lantas dimana Keyla?”
“ikut bersamaku jika kau ingin mengetahuinya”
“edelwish?”
“edelwish ini dari Keyla, iya hanya menyuruhku menyampaikan ini untuk mu. Hal terakhir yang iya katakana bahwa iya mencintaimu”
“lantas dimana Keyla?”
“ikut bersamaku jika kau ingin mengetahuinya”
Mobil kembali merayap menyusur aspal lembab, menerbangkan
daun-daun yang dijatuhkan oleh pohon yang ada disekitar pinggir jalan.
“disinilah sekarang Keyla tinggal” cetus Tasya memecah suara
hening dipemakaman umum itu, seraya menunjuk gundukan tanah merah yang masih
basah. Yudha tertegun wajah Keyla yang semula iya bayangkan sirna saat iya melihat
gundukan tanah merah itu.
“iya terpeleset saat mengambil bunga itu, diBromo, 2 hari yang lalu. Saat itu iya bahagia menemukan bunga yang iya cari. Iya fikir bunga abadi ini bisa menunjukkan cintanya yang abadi ini bisa menunjukkan cintanya yang abadi meskipun pemiliknya sudah mati, tapi yang ada iya terlebih dahulu menuju keabadian, sebelum sempat untuk menunjukkan padamu”
“iya terpeleset saat mengambil bunga itu, diBromo, 2 hari yang lalu. Saat itu iya bahagia menemukan bunga yang iya cari. Iya fikir bunga abadi ini bisa menunjukkan cintanya yang abadi ini bisa menunjukkan cintanya yang abadi meskipun pemiliknya sudah mati, tapi yang ada iya terlebih dahulu menuju keabadian, sebelum sempat untuk menunjukkan padamu”
Mata Yudha merah nanar, genangan air terlihat jelas dikelopak
matanya, hatinya terguncang, banyak kata-kata yang tersendat dikerongkongannya.
Iya baru menyadari cinta yang iya cari telah iya lewatkan. Telah hilang karna
ketololannya sendiri tak pernah meyadari arti penting orang yang mencintainya.
By: Eka Fidia
No comments:
Post a Comment