Tuesday, July 23, 2013

cerpen edelwish


EDELWISH

Sudah lima kali akhir pekan, seiap kali pagi menjelang hujan mengguyur tanah Bali, seperti sekarang. Sepasang kura-kura lucu yang terkurung kotak kaca terlihat sedang menikmati makanan paginya. Keyla melirik kearahnya, lalu kembali lagi menghadap kearah jendela. Kenangan SMAnya terbayang, dan betapa iya tak menyangka ketika kenangan itu tergambar jelas digaris-garis hujan, begitu sempurna sosok lelaki tegap berdiri didepan pagar, dan seorang gadis menghampirinya dengan senyum tipis.
Mungkin esok Keyla akan berangkat ke Bandung, menemui sosok asli laki-laki itu dan mendenar suaranya yang khas. Mahasiswi kedokteran di Bali ini tak tahu mengapa iya bisa merasa rindu dengan laki-laki yang seumuran dengannya, padahal sejak tamat SMA iya tak pernah ingin menemui laki-laki yang dulu sempat iya cintai itu. Tapi, ah! Empat tahun sudah iya tak bersua dengan Yudha, dan dalam empat tahun pula no ponselnya tak bisa dihubungi. Entah bagaimana keadaan Yudha saat ini. Percakapan pada acara perpisahan empat tahun lalu membuatnya cemas. Sura Yudha seakan tak ingn bertemu dengannya lagi.
“kak Yudha, ini untukmu”
“apa ini?” Tanya Yudha
“bukan apa-apa, hanya buku yang menceritakan hati”
“oh… terimakasih”
Sebenarnya Keyla masih ingin bicara lebih lama waktu itu. Masih ingin mendengar suaranya yang khas. Tapi, Yudha berlau meninggalkannya. Keyla masih ingat saat-saat terindah yang pernah iya lewati bersama Yudha disekolahnya dulu. Yudha memberinya obat saat iya merasakan sakit di bagian lambungnya. Keyla melirik kearah Yudha yang sedang menyodorkan kepingan-kepingan perhatian, mencoba menutupi kebahagiaanyang iya rasakan saat Yudha memaksanya untuk memakan obat yang iya berikan.
Mobil keyla merangkak menyusuri aspal yang menggigil, lau berbelok ketika jari Tasya sahabatnya mengacung kearh kiri, menunjukkan rumah bercat hijau milik Yudha.
“kak Yudha? Benarkah kau?” laki-laki mengenakan seragam angkatan yang membukakan pintu itu mendongak memangdang wajah Keyla yang beku. Keheranan tergambar diwajah Yudha.
“dek Keyla…”
Angin malam menelusup masuk menubruk pintu ketika ditutup dari dalam. Laki-laki itu benar-benar Yudha, tapi sungguh beda dengan gambar digaris-garis hujan yang Keyla tangkap. Ingin rasanya Keyla memeluknya ketika Yudha melafalkan namanya dengan nada rendah. Tapi, ia mengurungkan niatnya ketika ia melihat foto mesra Yudha dengan kekasihnya disudut ruangan.

“apa kau masih mencintainya? Apa dari dulu hingga kini tak pernah ada ruang dihatimu untuk ku?” Tanya Keyla mengigil, wajah dan matanya merah merangah. “baik, akan ku buktikan bahwa aku mencintaimu bahkan sampai aku mati” lanjut Keyla seraya menerobos pintu.
“Key…” teriak Yudha, tapi mobil yang Keyla kendarai sudah lebih dulu merayap meninggalkan daun-daun basah didepan rumah Yudha.
Keika 5 hari kemudian Yudha mendapat pesan melalui jejaring facebook miliknya.
“pesa dari Keyla” gumamnya heran. Senyumnya tiba-tiba saja pecah saat iya mengetahui Keyla dirumahnya, iya bergegas tapi, iya sama sekali tak menemukan Keyla, yang iya temukan hanya sosok waita yang sudah sering iya lihat.
“Tasya… ada apa? Apa kau yang menulis pesan padaku?
“bukan, aku kesini hanya ingin menyampaikan ini”
Kotak puth berbalut pita hitam itu secara perlahan ia buka, dia melirik ke arah Tasya.
“edelwish?”
“edelwish ini dari Keyla, iya hanya menyuruhku menyampaikan ini untuk mu. Hal terakhir yang iya katakana bahwa iya mencintaimu”
“lantas dimana Keyla?”
“ikut bersamaku jika kau ingin mengetahuinya”
Mobil kembali merayap menyusur aspal lembab, menerbangkan daun-daun yang dijatuhkan oleh pohon yang ada disekitar pinggir jalan.
“disinilah sekarang Keyla tinggal” cetus Tasya memecah suara hening dipemakaman umum itu, seraya menunjuk gundukan tanah merah yang masih basah. Yudha tertegun wajah Keyla yang semula iya bayangkan sirna saat iya melihat gundukan tanah merah itu.
“iya terpeleset saat mengambil bunga itu, diBromo, 2 hari yang lalu. Saat itu iya bahagia menemukan bunga yang iya cari. Iya fikir bunga abadi ini bisa menunjukkan cintanya yang abadi ini bisa menunjukkan cintanya yang abadi meskipun pemiliknya sudah mati, tapi yang ada iya terlebih dahulu menuju keabadian, sebelum sempat untuk menunjukkan padamu”
Mata Yudha merah nanar, genangan air terlihat jelas dikelopak matanya, hatinya terguncang, banyak kata-kata yang tersendat dikerongkongannya. Iya baru menyadari cinta yang iya cari telah iya lewatkan. Telah hilang karna ketololannya sendiri tak pernah meyadari arti penting orang yang mencintainya.

By: Eka Fidia

No comments:

Post a Comment